Pencucian Uang Bisa Hancurkan Integritas Sistem Keuangan

22 Dec 2021

Home 5 News 5 Pencucian Uang Bisa Hancurkan Integritas Sistem Keuangan

GALAMEDIA – Perkumpulan Bumi Alumni (PBA) bekerja sama dengan WorldwideQuality Assurance (WQA), melalui kantor regional office WQA Asia Pasific di Jakarta bersama Rumah Inovasi menggelar webinar dengan tema “Perang Global Melawan Pencucian Uang”, Jumat, 28 Mei 2021.

Webinar ini menghadirkan Direktur Eksekutif Hukum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dr. Ary Zulfikar, SH, MH selaku Ketua Umum PBA.

Hadir nara sumber lainnya yaitu Dr. Dian Ediana Rae,SH, LLM Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dengan panelis Yudianta Simbolon SH, MHum dan Defrizal Djamaris SH, CTL dari Tim Advokasi dan Bantuan Hukum PBA, dan moderator Muhammad Aristian dari regional manager WQA Asia Pasific.

Dr Ary Zulfikar menyampaikan, webinar kali ini memberikan pemahaman mengenai tindak pidana pencucian uang. Terkait dengan adanya PP No 61 tahun 2021 yang merupakan perubahan dari PP 43 tahun 2015 tentang pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

“PP tersebut erat kaitannya dengan pihak pelaporan harta kekayaan yang patut diduga berasal dari suatu tindak pidana dan prinsip yang digunakan dalam UU TPPU untuk mengenali apa yang dimaksud dengan transaksi keuangan yang mencurigakan,” jelasnya.

Ary menjelaskan apa yang dimaksud dengan transaksi keuangan mencurigakan. Pasal 1 Angka 5 UU TPPU mendefinisikan ada 4, salah satunya adalah jika terjadi transaksi keuangan tidak sesuai profil atau karakteristik kebiasaan pola transaksi pengguna jasa.

Filosofi dari UU TPPU adalah penerapan prinsip mengenali pengguna jasa. Setiap penyedia dan pengguna jasa harus memahami prinsip tersebut.

“Kami di LPS melakukan penyelidikan suatu tindak pidana, tapi seringkali penyelidikan dilakukan setelah kerugian itu terjadi. Jadi sering kita melakukan penyelidikan setelah bank tersebut telah mengalami kerugian,” jelasnya.

Dikatakannya, berdasarkan UU TPPU ada sekitar 26 tindak pidana yang secara defintif disebutkan, termasuk pencurian, penyuapan, korupsi dibidang perbankan, pemalsuan uang, penipuan dan sebagainya.

Pasal 17 ayat 2 UU TPPU menyatakan bahwa ketentuan pihak pelapor diatur dalam PP, maka lahirlah PP 43 sebagaimana diubah dengan PP 61 tahun 2021, yang menyebutkan secara rinci mengenai cakupan pihak pelapor yang memiliki kewajiban pelaporan.

Perbedaannya, dalam PP 61 ada tambahan, bahwa pihak pelapor mencakup juga antara lain penyedia jasa yang juga memberikan layanan pinjol, penyedia layanan saham berbasis teknologi informasi, penyedia jasa layanan keuangan berbasis teknologi informasi.

“Pinjol itu bagian dari penyedia jasa yang memang diwajibkan sebagai pihak pelapor,” tuturnya.

Dulu fungsi dan tugas LPS disebut sebagai loss minimizer. Namun saat ini, saat pandemi, LPS juga dituntut untuk menjadi risk minimizer, yaitu melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kegagalan bank.

Dalam konteks penanganan bank BPR bermasalah, menurut Ary, LPS melakukan due diligence, termasuk menengarai apakah ada perbuatan yang dilakukan oleh pemegang saham, direksi, komisaris maupun staf yang merugikan bank yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana umum.

“Dalam melakukan investigasi itu, LPS juga selalu berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, termasuk dengan PPATK,” katanya.

Bahaya
Ketua PPATK, Dr. Dian Ediana Rae, SH menyampaikan bahaya dari dampak tindak pidana pencucian uang jika tidak tertangani dengan baik. “Pencucian uang bahayanya sebesar apa sih,” ujarnya.

Ia mencontohkan seperti yang sering diperlihatkan dalam film-film, misalnya soal jaringan narkoba Meksiko dan narkoba Kolombia. Hasil penjualan narkoba dicuci uangnya sampai sedemikian besar berpengaruh dalam berbagai sendi kehidupan.

“Bahkan sampai sekarang Kolombia dan Meksiko tidak bisa lepas dari narkoba dan traficking. Uang hasil kejahatan narkoba tidak bisa dikendalikan akhirnya, negara itu tidak bisa dikendalikan,” jelasnya.

“Apakah Indonesia punya potensi seperti itu? Mari kita renungkan bersama,” jelasnya.

Data dari BNN, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai angka 5 juta, yang terkait dengan misalnya hasil analisis PPATK bahwa transaksi narkoba mencapai triliunan.

Kalau itu terus berkembang, pencucian uang berjalan massif bisa dipastikan akan berpengaruh kepada yang lain. Jika memasuki dunia politik, akan menjadi hal yang sulit untuk dicegah.

“Dampak tindak pidana kejahatan pencucian uang memang sangat luar biasa. Belum lagi hasil korupsi juga sudah sangat besar, jangan-jangan mencapai ratusan triliun. Kejahatan illegal loging, illegal mining, illegal fishing dan macam-macam itu kemudian diakumulasikan tidak sedikit jumlahnya,” tuturnya.

Menurutnya, dampak pencucian uang akan merusak integritas sistem keuangan Indonesia. Jika pencucian uang tidak terdeteksi, akan mengganggu hal lain, investasi terganggu, ekonomi terganggu.

“Bayangkan, misalnya ada orang yang bisnis dengan susah payah, pinjam uang susah, nah di sisi lain ada orang orang yang dibiayai dari dana hasil pencucian uang,” jelasnya.

Sekarang ini menurut Dr Dian, modus dan cara melakukan pencucian uang makin canggih. Penyamaran transaksi, rekayasa keuangan dan sebagainya dilakukan dengan cara-cara yang semakin rumit dan kompleks.

“Ini adalah tipikal money laundering,” jelasnya.

Dalam kasus narkoba misalnya, sudah pasti melibatkan transaksi keuangan trans nasional/trans border. Melibatkan organisasi kriminal antar negara yang satu sama lain saling terkait.

Demikian juga money laundering hasil korupsi, kalau dulu sederhana saja, uang hasil korupsi ditaruh di bank. Sekarang menurut Dr. Dian sudah lebih kompleks dan dinamis, karena melibatkan professional money laundering.

“Misalnya mereka pergi ke kasino di luar negeri, tidak benar-benar bermain judi, namun menerima uang dari hasil korupsi,” jelasnya.

“PPATK sangat concern dengan para pelaku money laundering karena memang dampaknya sangat berbahaya terhadap integritas keuangan dan perekonomian,” jelasnya.

Terkait dengan bahayanya tindak pidana pencucian uang yang sampaikan Ketua PPATK, Panelis webinar Yudianta Simbolon SH, MHum menyampaikan, tidak salah jika kasus tersebut termasuk dalam extra ordinary crime.

Mengingat pelakunya, jaringan dan dampaknya bisa melibatkan berbagai pihak, seperti kalangan internal perbankan, aparat penegak hukum, termasuk politisi dan professional money laundering.

Sementara Defrizal Djamaris SH, CTL menyampaikan, dalam kasus pencucian uang global biasanya ada tiga tahapan. Tahap pertama adalah placement/penempatan dana di dalam maupun di luar negeri dari hasil kejahatan, tahap kedua adalah layering/menyamarkan dengan berbagi cara, ketiga adalah integrasi, bagaimana uang yang disamarkan disimpan dalam rekening pelaku.

“Inilah yang sering terjadi dalam proses pencucian uang,” jelasnya.

 

Sumber: Galamedianews