Pengertian Putusan Arbitrase Internasional Pasca Diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XXII/2024

21 Jan 2025

Home 5 News 5 Pengertian Putusan Arbitrase Internasional Pasca Diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XXII/2024

Pada tanggal 3 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan No. 100/PUU-XXII/2024 (“Putusan MK No. 100/2024”) dalam perkara pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU No. 30/1999”) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”). Pengujian tersebut atas permohonan yang diajukan oleh Togi M. P. Pangaribuan, S.H., LL.M. yang berprofesi sebagai Dosen di Universitas Indonesia, seorang arbiter dari Chartered Institute of Arbitrators dan ketua Badan Penyelesaian Sengketa Nasional. Togi M. P. Pangaribuan, S.H., LL.M. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon) mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 tentang definisi dari Putusan Arbitrase Internasional terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas kepastian hukum.

I. Latar Belakang

Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 berbunyi sebagai berikut:

“Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Dari ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 tersebut, terdapat kerancuan dari definisi Putusan Arbitrase Internasional sehingga menyebabkan multi tafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Multi tafsir tersebut diakibatkan oleh frasa yang ada di dalam Pasal 1 angka 9 UU 30/1999 mengandung dua pengertian mengenai Putusan Arbitrase Internasional. Frasa pertama, suatu putusan arbitrase akan dianggap sebagai Putusan Arbitrase Internasional apabila dijatuhkan di luar wilayah Indonesia. Frasa kedua, suatu putusan arbitrase akan dianggap sebagai putusan arbitrase internasional apabila ditentukan sebagai Putusan Arbitrase Internasional oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian, suatu putusan arbitrase yang dijatuhkan di Indonesia bisa saja dianggap sebagai putusan arbitrase internasional. Dalam Putusan MK No. 100/2024, pengertian pertama disebut sebagai asas teritorial sementara pengertian kedua disebut sebagai asas nasionalitas.

Kemudian ambiguitas peraturan pelaksanaan itu akan menjadi lebih nyata ketika dihadapkan kepada fakta bahwa banyak arbitrase internasional juga dilakukan secara online. Sehingga, ketika persidangan dilakukan secara online, mendefinisikan elemen internasional akan semakin menyulitkan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Selanjutnya dapat dilihat bahwa Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 berkaitan langsung dengan Pasal 66a dan Pasal 67c UU No. 30/1999 yang mana kedua pasal tersebut justru menganut asas teritorial, dimana elemen utama dalam menentukan sifat internasional suatu putusan adalah dimana putusan tersebut dijatuhkan. Sehingga, kedua pasal tersebut akan bertentangan dengan asas nasionalitas yang juga dianut di dalam frasa kedua Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999. Dengan demikian, logika pasal-pasal di dalam UU No. 30/1999 itu sendiri (dalam hal ini Pasal 1 angka 9, Pasal 66a serta Pasal 67c) ternyata juga bertentangan. Akibatnya, lahir sebuah ketidakpastian hukum yang nyata di dalam pelaksanaan UU No. 30/1999.

II. Dampak yang dapat ditimbulkan dari ambiguitas ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999

Akibat percampuran frasa pertama dan frasa kedua pada Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 tersebut, tentu saja akan menimbulkan dampak lanjutan di antaranya yaitu:

a. Jangka Waktu Pendaftaran Putusan Arbitrase Yang Berbeda Antara Putusan Arbitrase Nasional dan Putusan Arbitrase Internasional

Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UU No. 30/1999, ditentukan bahwa jangka waktu putusan arbitrase nasional adalah 30 hari. Sedangkan di dalam ketentuan hukum di Indonesia tidak mengatur mengenai jangka waktu pendaftaran putusan arbitrase internasional dikarenakan persyaratan permohonan pendaftaran exequatur suatu putusan arbitrase internasional memiliki syarat yang panjang dan lebih lama karena sifat internasional dari perkara itu sendiri. Ketika tidak ada definisi yang jelas mengenai definisi putusan internasional, maka hal ini secara langsung berdampak kepada jangka waktu pendaftaran putusan tersebut. Suatu putusan internasional mungkin saja nantinya dianggap putusan nasional, dan pemohon kehilangan hak untuk mendaftarkan exequatur karena limitasi jangka waktu yang berbeda.

b. Putusan Dijatuhkan Oleh Lembaga Arbitrase atau Majelis Arbitrase

Asas teritorial akan berpandangan bahwa terlepas dari adanya unsur asing atau lembaga arbitrasenya adalah lembaga arbitrase internasional, maka selama putusan arbitrase dijatuhkan oleh Majelis Arbitrase di dalam wilayah teritorial Indonesia, putusan tersebut akan dianggap sebagai putusan nasional. Sementara itu, asas nasionalitas akan berpandangan bahwa walaupun putusan arbitrase dijatuhkan di Indonesia, jika lembaga arbitrasenya adalah lembaga arbitrase internasional seperti International Court of Arbitration (ICC) atau Singapore International Arbitration Centre (SIAC), maka putusan arbitrase tersebut sangat mungkin dianggap sebagai putusan arbitrase internasional.

c. Kepada Siapa Pemberian Surat Kuasa Ketika Pendaftaran Putusan Arbitrase

Dalam hal ini, ketika menentukan definisi putusan arbitrase nasional atau internasional dilakukan dengan cara mencampuradukkan asas teritorial dan asas nasionalitas, maka selanjutnya akan membuka kemungkinan terjadinya kebingungan tentang siapakah yang dapat memberikan kuasa antara lembaga arbitrasenya atau majelis arbitrasenya untuk mendaftarkan putusan arbitrase internasional. Terdapat kemungkinan bahwa kewenangan dari arbiter atau kuasanya yang mendaftarkan putusan arbitrase ke pengadilan menjadi hilang dikarenakan putusan tersebut dianggap sebagai putusan arbitrase internasional.

Kebingungan tersebut juga akan mempengaruhi mengenai ke mana putusan arbitrase akan didaftarkan. Sebab berdasarkan UU No. 30/1999, dinyatakan bahwa Putusan Arbitrase Nasional harus didaftarkan ke pengadilan negeri yang melingkupi wilayah tempat di mana Termohon Arbitrase berdomisili sebagaimana pasal 59 ayat (1) UU No. 30/1999, sedangkan untuk Putusan Arbitrase Internasional, harus didaftarkan dan dimohonkan eksekuaturnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana diatur dalam UU No. 30/1999.

III. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi (“MK”) mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:

a. Frasa yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas ini sebenarnya sudah menjadi salah satu isu yang diperdebatkan sejak perumusan Konvensi New York. MK menilai sejak awal dirumuskannya konsep teritorial terdapat perdebatan antara negara-negara yang menganut sistem common law dengan prinsip teritorialnya dan negara-negara yang menganut sistem civil law yang menekankan pada prinsip nationality of the award. Terdapat keberatan dari Austria, Belgia, Republik Federal Jerman, Perancis, Italia, Belanda, Swedia, dan Swiss (Eight Power amendement) dengan dasar argumentasi yang pada pokoknya menyatakan konsep teritorial berpotensi mengancam kedaulatan dan yurisdiksi suatu negara dan acapkali bertentangan dengan kepentingan dan ketertiban umum suatu negara, sehingga mendorong agar suatu negara juga memiliki otoritas untuk menentukan putusan arbitrase non domestik.

Perbedaan pendapat tersebut diselesaikan dengan working party yang bertugas membuat rumusan yang dapat diterima oleh negara-negara common law maupun civil law, dengan menambahkan klausula It shall also apply to arbitral awards not considered as domestic awards in the State where their recognition and enforcement are sought. Namun demikian, tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan putusan domestik dalam konvensi ini, karena langsung menentukan batasan ruang lingkup putusan arbitrase internasional, yaitu dalam norma Pasal III Konvensi New York yang memberikan keleluasaan bagi setiap negara penandatangan untuk membentuk aturan prosedural terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase baik yang bersifat domestik maupun internasional.

Dengan demikian, terkait dengan definisi dan ruang lingkup suatu putusan arbitrase, Konvensi New York sebenarnya membedakan antara putusan arbitrase internasional yang menggunakan konsep teritorial dan putusan arbitrase non domestik yang berdasarkan konsep nasionalitas yang memberikan otoritas kepada yurisdiksi negara untuk menentukan kriteria putusan arbitrase internasional.

b. Definisi putusan arbitrase internasional dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 telah mengubah redaksi beberapa kalimat dalam Konvensi New York, yaitu pada frasa pertama yang semula menyatakan “arbitral awards made in the territory of a State other than the State where the recognition and enforcement of such awards are sought” (putusan arbitrase yang dibuat selain dari negara yang dimintakan pengakuan dan pelaksanaan putusannya), diubah menjadi “putusan arbitrase yang dibuat di luar wilayah Indonesia.” Selain itu, perubahan juga dilakukan pada frasa kedua yang menyatakan “not considered as domestic awards” (tidak dianggap/dipertimbangkan sebagai putusan (arbitrase) domestik) diubah menjadi “dianggap sebagai putusan arbitrase internasional.”

Menurut MK, perubahan frasa dalam perumusan norma Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999, telah sesuai dengan kerangka Konvensi New York yang memberikan hak kepada setiap contracting state untuk membentuk pengaturan prosedural, termasuk dalam hal ini memberikan penilaian, sejauh mana putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan. Setiap negara bebas menentukan batas-batas, jangkauan putusan arbitrase internasional, dihubungkan dengan kepentingan dan kedaulatan hukum masing-masing negara sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena itu, adanya ruang untuk memberikan penilaian terhadap suatu putusan arbitrase selain berdasarkan pada konsep teritorial telah menunjukkan adanya semangat untuk penguatan dan perlindungan kedaulatan negara dalam relasi dunia internasional.

c. Kemudian terkait dengan frasa “yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional” dalam norma Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999, yang telah menimbulkan praktik multi tafsir dalam membedakan putusan arbitrase nasional dengan putusan arbitrase internasional, menurut MK, secara konseptual perbedaan utama antara putusan arbitrase nasional dan internasional terletak pada ruang lingkup yurisdiksi dan mekanisme pelaksanaan putusannya. Pembedaan ini penting untuk memastikan bahwa proses penyelesaian sengketa, termasuk pelaksanaannya, dapat berjalan efektif dan sesuai dengan konteks hukum serta kebutuhan para pihak. Oleh karena itu, pengaturan yang menjadi dasar pembeda di antara keduanya harus jelas, termasuk kejelasan ruang lingkup atau batasan suatu putusan arbitrase internasional dalam norma Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 sebagai bagian dari Bab Ketentuan Umum UU No. 30/1999

d. Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 menentukan definisi sekaligus ruang lingkup dari putusan arbitrase internasional dengan menggunakan dua konsep, yaitu konsep teritorial dan konsep nasionalitas. Dalam pengaturan selanjutnya, hanya dapat ditemukan uraian yang mengatur dan menjelaskan mengenai konsep teritorial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 66 dan Pasal 67 UU No. 30/1999. Sedangkan terkait dengan konsep nasionalitas yang menekankan adanya pengaturan khusus mengenai kriteria putusan arbitrase internasional tidak ditemukan pengaturan lebih lanjut dalam batang tubuh maupun penjelasan UU No. 30/1999. Bahkan hingga saat ini pengertian dan penjelasan lebih lanjut mengenai kata “dianggap” sebagai suatu putusan arbitrase internasional juga tidak diatur dalam pasal-pasal dalam UU No. 30/1999

e. MK menganggap bahwa penting untuk menegaskan apakah kata “dianggap” dalam frasa “yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional” menyebabkan adanya ketidakpastian hukum sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “dianggap” yang berasal dari kata “anggap” memiliki padanan kata seperti kira, sangka, taksir, tebak, terka, duga. Dapat dilihat bahwa secara umum kata-kata tersebut memiliki arti sesuatu yang belum jelas atau masih dapat berubah-ubah tergantung bukti dan fakta yang mengikutinya.

Sementara itu, dalam penyusunan materi muatan suatu undang-undang, salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah adanya asas kejelasan rumusan yang memberikan pedoman bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Hal ini juga dikemukakan oleh Mahkamah Agung pada persidangan tanggal 9 Desember 2024.

Dengan demikian, menurut MK, pilihan yang paling rasional dalam mewujudkan kepastian hukum yang adil terkait definisi, ruang lingkup, dan batasan putusan arbitrase internasional dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 adalah dengan menghilangkan kata “dianggap” dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999. Dengan tidak adanya kata “dianggap” dalam ketentuan tersebut, maka keberadaan frasa “atau yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia sebagai suatu putusan arbitrase internasional” adalah bersifat menguatkan konsep teritorial dalam frasa “putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia”.

IV. Kesimpulan

Dengan dihilangkannya kata “dianggap” dalam Pasal 1 angka 9 UU 30/1999 tersebut, maka ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh penafsiran bebas mengenai apa itu suatu putusan arbitrase internasional non-domestik tidak lagi bisa dilakukan.  Artinya, definisi dan ruang lingkup putusan arbitrase internasional di Indonesia didasarkan pada konsep teritorial dan faktor lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal belum terdapat ketentuan lain yang mengatur mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di luar UU No. 30/1999, maka yang harus dijadikan pedoman adalah norma Pasal 66 dan Pasal 67 UU No. 30/1999. Kerangka hukum demikian juga tidak serta-merta membatalkan konsep nasionalitas yang menuntut adanya pengaturan lebih lanjut terkait dengan parameter putusan arbitrase internasional di kemudian hari.

 

Defrizal Djamaris, S.H., M.I.R., CTL., C.MED.
Adella Ghaisani, S.H.