JAKARTA, investor.id – Pakar Hukum Tata Negara, Prof Dr Yusril Ihzamahendra menyampaikan bahwa pelaksanaan proses pemilu harus disesuaikan dengan kondisi krisis sebuah negara, serta terkait kondisi alam demokrasi.
“Menghadapi tahun pemilu dalam situasi krisis, mau tidak mau, ini sesuatu yang harus dibicarakan, semuanya yang merasa concern kepada negara ini tentu tidak ingin melihat negara kita menjadi berantakan karena kita tidak dapat melaksanakan pemilu dengan benar,” kata Yusril pada acara Webinar Indigo Network bersama Hipmi pada Kamis (3/2/2022).
Forum Dialog Hipmi bersama Indigo Network tersebut digelar untuk menanggapi keputusan DPR bersama Kemendagri dan penyelenggara pemilu menetapkan tanggal pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024.
Selain Yusril, webinar dengan tema “Melihat Sejarah Konstitusi Indonesia dalam Kepemiluan” ini juga menghadirkan Dr Radian Syam SH MH– Direktur Eksekutif IndiGo Network, Hasstriansyah MPP– Pengamat Kebijakan Publik Prospera, dan Defrizal Djamaris SH –Pengamat Hukum Investasi Indigo Network.
Menurut Yursil, Bangsa Indonesia harus mampu membaca kondisi dan risiko krisis yang hari ini sedang dihadapi.
“Kita semua harus mafhum, pada situasi krisis seperti ini, soal pilpres seharusnya dapat menyesuaikan dengan situasi yang ada. Hanya dua kunci yang menjadi pilihan untuk situasi sulit ini. Amendemen konstitusi atau kita ciptakan sebuah konvensi ketatanegaraan,” terang pendiri Ihza & Ihza Law Firm tersebut.
Direktur Eksekutif IndiGo Network, Radian Syam juga mengingatkan pentingnya regulasi yang jelas untuk mencapai pemilu yang jujur dan adil. Ada tiga hal yang menjadi dasar dari pemilu yakni rakyat atau pemilihnya itu sendiri, kemudian peserta pemilu atau parpol, dan selanjutnya adalah regulasi dari pemilu itu sendiri. Sehingga tidak dapat menafikan bahwa dalam pelaksanaan pemilu, regulasi itu harus jelas dan bunyi serta terang benderang, bukan justru menjadi wilayah yang abu-abu, yang nantinya menimbulkan akrobatik hukum oleh oknum yang ingin merusak pemilu itu sendiri.
“Jika kita berbicara soal demokrasi, maka kita harus bisa melihat akuntabilitasnya, semua prosesnya nya harus berlangsung secara jujur dan adil. Tidak ada sistem Pemilu yang Sempurna, tetapi bagaimana pemilu menjadi media membangun bangsa. serta Pemilu harus dilihat sebagai suatu nilai yang luhur bukan sebatas prosedural”, tandas Radian Syam yang juga dosen Fakultas Hukum Trisakti tersebut.
Dalam diskusi ini Radian menyebutkan bahwa Indonesia pernah mengalami penundaan pemilu, dimana yang semula Oktober 1945 menjadi 1955, lalu tahun 1965 menjadi 1971 bahkan 6 tahun kemudian 1977 baru melaksanakan pemilu, dan terakhir pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 yang seharusnya September 2020 tertunda hingga desember 2020 dimana dengan terbitnya Perpu No 2 tahun 2020 yang kemudian menjadi UU No 6 tahun 2020.
Pembicara lainnya yakni Defrizal Djamaris, SH, pengamat Hukum Investasi Indigo Network mengatakan, sejak reformasi Indonesia sudah sepakat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dianut yang terbukti telah menarik investor dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dimana pemilu adalah bagian utama dari sistem demokrasi itu sendiri.
“Seharusnya pemerintah bisa fokus bagaimana penyelenggaraan pemilu dapat dilangsungkan dengan baik dan efisien,” katanya.
Sumber: Investor.co.id