Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pelaksanaan proses pemilu harus disesuaikan dengan kondisi krisis serta kondisi alam demokrasi sebuah negara. Hal ini ia sampaikan dalam acara Webinar Indigo Network bersama Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) pada Minggu (6/2).
“Menghadapi tahun pemilu dalam situasi krisis, mau tidak mau, ini sesuatu yang harus dibicarakan, semuanya yang merasa concern kepada negara ini tentu tidak ingin melihat negara kita menjadi berantakan karena kita tidak dapat melaksanakan pemilu dengan benar,” ujar Yusril dalam keterangan tertulis, Senin (7/2/2022).
Forum Dialog Hipmi bersama Indigo Network tersebut digelar demi menanggapi keputusan DPR bersama Kemendagri dan penyelenggara pemilu dalam menetapkan tanggal pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024.
Selain Yusril, webinar bertajuk ‘Melihat Sejarah Konstitusi Indonesia dalam Kepemiluan’ ini juga menghadirkan Direktur Eksekutif IndiGo Network Dr. Radian Syam S.H., M.H., Pengamat Kebijakan Publik Prospera Hasstriansyah MPP, dan Pengamat Hukum Investasi Indigo Network Defrizal Djamaris S.H.
Dalam forum tersebut, Yusril mengatakan bangsa Indonesia harus mampu membaca kondisi dan risiko krisis yang hari ini sedang dihadapi.
“Kita semua harus mafhum, pada situasi krisis seperti ini, soal Pilpres seharusnya dapat menyesuaikan dengan situasi yang ada. Hanya dua kunci yang menjadi pilihan untuk situasi sulit ini. Amandemen konstitusi atau kita ciptakan sebuah konvensi ketatanegaraan,” tuturnya.
Sementara itu, Radian menekankan pentingnya regulasi yang jelas untuk mencapai pemilu yang jujur dan adil. Ada tiga hal yang menjadi dasar dari pemilu yakni rakyat atau pemilihnya itu sendiri, kemudian peserta pemilu atau parpol, dan selanjutnya adalah regulasi dari pemilu itu sendiri.
Karena itu, pelaksanaan pemilu harus diiringi regulasi yang jelas dan tegas. Regulasi harus menjadi cahaya terang benderang, yang menghilangkan wilayah abu-abu sehingga nantinya tidak ada satupun oknum yang dapat melakukan akrobatik hukum dan merusak jalannya pemilu itu sendiri.
“Jika kita berbicara soal demokrasi, maka kita harus bisa melihat akuntabilitasnya, semua prosesnya nya harus berlangsung secara jujur dan adil. Tidak ada sistem Pemilu yang Sempurna, tetapi bagaimana pemilu menjadi media membangun bangsa. serta Pemilu harus dilihat sebagai suatu nilai yang luhur bukan sebatas prosedural”, tandas Radian.
Radian turut mengingatkan Indonesia sudah beberapa kali mengalami penundaan pemilu. Pertama penundaan dari yang semula Oktober 1945 menjadi 1955, lalu tahun 1965 menjadi 1971 yang bahkan harus menunggu 6 tahun sebelum pemilu akhirnya terlaksana pada 1977.
Terbaru, pilkada 2020 yang terpaksa ditunda akibat pandemi COVID-19. Pilkada yang seharusnya berlangsung pada September 2020 tertunda hingga Desember 2020 dimana dengan terbitnya Perpu No.2 tahun 2020 yang kemudian menjadi UU No.6 tahun 2020.
Pembicara lainnya, Defrizal Djamaris menerangkan sejak reformasi Indonesia sudah sepakat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dianut yang terbukti telah menarik investor dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dimana pemilu adalah bagian utama dari sistem demokrasi itu sendiri.
“Seharusnya pemerintah bisa fokus bagaimana penyelenggaraan pemilu dapat dilangsungkan dengan baik dan efisien,” pungkasnya.
Sumber: Detik.com